JATIM ZONE – Jalan Raya Pabian yang dulu ramai oleh hiruk-pikuk pedagang kaki lima (PKL), kini terasa sunyi. Lapak-lapak sederhana yang menjadi sumber nafkah puluhan keluarga telah dibongkar paksa oleh pemerintah daerah.
Kebijakan penertiban ini menuai protes dari para pedagang yang merasa diusir tanpa solusi layak.
“Kami sudah puluhan tahun berjualan di sini. Tiba-tiba, kami dipaksa pergi tanpa ada tempat yang benar-benar siap untuk kami,” keluh seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya, suaranya bergetar.
Ia dan rekan-rekannya kini kebingungan mencari cara baru untuk menghidupi keluarga. Pemerintah menawarkan relokasi ke Pasar Kayu Pabian, namun kondisi pasar tersebut jauh dari kata layak.
“Bagaimana mau berjualan di sana? Saat hujan, banjir. Kayu-kayu berserakan, pembeli enggan datang. Ini bukan solusi, ini seperti dipindahkan ke tempat yang lebih buruk,” ujarnya.
Ketidakadilan dalam Penertiban
Para pedagang juga menilai penertiban ini bersifat tebang pilih. Beberapa lokasi lain yang termasuk zona merah masih dibiarkan ramai PKL, sementara mereka dipaksa angkat kaki tanpa kompromi.
“Kalau mau adil, tertibkan semua. Jangan hanya kami yang jadi korban,” protes salah seorang pedagang.
Mereka tidak menolak aturan, tetapi meminta pemerintah memberikan ruang berjualan yang layak dan manusiawi.
“Kami hanya ingin bertahan hidup. Bukan berarti kami tidak mau taat aturan, tapi beri kami alternatif yang benar-benar bisa diandalkan,” tambahnya.
Pemerintah Beralaskan Peraturan
Moh. Ramli, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (DKUPP) Sumenep menjelaskan, penertiban ini berdasarkan Perda yang melarang PKL berjualan di zona merah, seperti jalan nasional, rumah sakit, dan tempat ibadah.
“Kami sudah menyediakan lokasi alternatif seperti Pasar Anom dan Pasar Kayu. Jika dianggap kurang strategis, itu persepsi subjektif. Yang penting, penataan harus sesuai aturan,” tegasnya.
Romli menjelaskan, penataan PKL diatur dalam sistem zonasi yakni zona merah, kuning dan zona hijau.
Zona merah adalah Area terlarang untuk aktivitas PKL, sedangkan zona kuning merupakan wilayah yang masih memungkinkan untuk aktivitas pedagang dengan syarat tertentu, seperti pembatasan waktu operasional.
“Salah satu contoh zona kuning adalah jalan Diponegoro, di mana PKL hanya diperbolehkan berjualan dari pukul 16.00 WIB hingga pukul 22 wib. Contoh lain adalah taman bunga Sumenep yang secara regulasi masuk zona merah karena berada dekat dengan markas TNI dan tempat ibadah,” ujarnya.
Namun, pada momen khusus seperti bulan Ramadan, pemerintah dapat memberikan izin khusus untuk kegiatan seperti bazar murah, sehingga kawasan tersebut bersifat zona kuning dengan pengaturan terbatas.
Kemudian yang terakhir adalah zona hijau, zona di mana PKL bebas berjualan tanpa batas waktu operasional, seperti di taman Tajamara, Pasar Bangkal dan Pasar Kayu.
Romli berharap setelah penertiban para PKL mulai menempati area yang disediakan pemerintah.
Sementara itu, Fajar Santoso dari Satpol PP Sumenep menyatakan bahwa pihaknya hanya menjalankan amanat dinas terkait.
“Kami tidak punya kewenangan penuh. Jika ada pelanggaran, kami hanya bisa mengimbau dan berkoordinasi dengan dinas terkait,” ujarnya.
“Pembinaan PKL itu perdanya ada di DKUPP. Yang menentukan ditindak atau tidaknya itu DKUPP,” ujarnya.
Satpol PP hanya bisa menghimbau, mengeksekusi dan mengawasi pasca penertiban sesuai petunjuk dinas terkait.
“Apabila menemukan ada pelanggaran, kita hanya bisa melakukan koordinasi dengan dinas terkait sekaligus melakukan imbauan kepada yang bersangkutan. Satpol PP saat ini tidak mempunyai banyak ruang gerak seperti dulu. Sebab perizinan sudah dikeluarkan masing-masing dinas,” bebernya.
Pihaknya memberi contoh. Misal ada pembangunan warung secara permanen yang menyalahi aturan, Satpol-PP tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan langsung, kecuali telah mendapatkan izin atau rekomendasi dari dinas terkait.
“Jadi itu bukan kewenangan kami lagi, melainkan kewenangan PUTR di bagian pengawasannya. Jadi kita tak bisa membongkarnya kecuali dinas terkait meminta pendampingan,” Paparnya.
Nasib PKL yang Terabaikan
Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan estetika kota daripada nasib warga kecil. Para PKL yang selama ini berkontribusi pada perekonomian lokal justru dipinggirkan tanpa solusi berkelanjutan.
“Pemerintah ingin kota terlihat rapi, tapi bagaimana dengan kami yang kehilangan penghasilan? Apakah mereka pernah merasakan susahnya cari makan setiap hari?” tanya seorang pedagang dengan nada getir.
Harapan mereka sederhana: kebijakan yang tidak hanya tegas, tetapi juga adil dan manusiawi. Jika penertiban harus dilakukan, pemerintah harus menyediakan alternatif yang benar-benar bisa diandalkan-bukan sekadar memindahkan masalah ke tempat lain.